Selasa, 14 April 2009

Berbagai Pola Kecurangan dalam Pemilu 2009

Machiavelli mengatakan, politik akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan kekuasaan; mulai dari cara-cara yang sesuai dengan norma-norma, hingga cara-cara yang buruk yang melanggara norman, bahkan cara-cara yang kejam dan tidak manusiawi. Praktek semacam ini, sepertinya telah menjadi hal yang biasa dan sering terjadi dalam proses penyelenggaraan politik di Indonesia. Yang paling buruk dicontohkan oleh Rezim Orde Baru dan Rezim SBY di pemilu 2009 dengan pola yang berbeda.

Di jaman Orde baru, proses kecurangan dilakukan dengan cara-cara paksa, intimidasi dan lain-lain. Sekarang ini, pola kecurangan dilakukan dengan rekayasa yang lebih halus, mulai dengan rekayasa waktu penyelenggaraan pemilih, daftar pemilih tetap (DPT) dan rekayasa perhitungan suara melalui lembaga penyelenggara pemilu mulai dari tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pola rekayasa terhadap pemilih adalah salah satu pola kecurangan dalam pemilu 2009. Kurang tepatnya waktu untuk penyelenggaraan pemilihan, telah mengakibatkan banyak masyarakat di berbagai daerah tidak dapat menggunakan hak pilihnya dikarenakan bertepatan dengan hari keagamaan. Ini terjadi pada umat Hindu di Bali dan Masyarakat yang beragama Kristiani di Nusa Tenggara Timur (NTT). Di Bali, hampir separuh masyarakatnya tidak menggunakan hak pilihnya, karena hari pemilihan bertepatan dengan hari suci agama Hindu, yang menyebabkan TPS-TPS menjadi sepi. Sementara di NTT, pemilu harus ditunda dikarenakan umat Katolik harus merayakan hari Paskah. Kedua daerah tersebut pada pemilu sebelumnya harus diakui adalah wilayah yang menjadi kantong suara PDIP dan PDS.

Pola kecurangan pemilu 2009 yang paling massif adalah melalui rekayasa DPT. Dari sinilah semua kecurangan yang besar dalam proses pemilu dimulai. Data adalah sumber informasi paling awal dan paling penting dalam seluruh proses pemilu, kemudian dimanipulasi sedemikian rupa sehingga lembaga pengawas pemilu dan partai-partai akan kehilangan jejak untuk menemukan bukti-bukti kecurangan. Meskipun bukti dapat diketemukan, akan tetapi pembuktian secara hukum dan penyelesaiannya akan membutuhkan waktu yang relatif lama dan seringkali tidak memiliki signifikasi dengan hasil pemilu.

Langkah manipulasi DPT hanya dapat dilakukan oleh pihak yang memiliki otoritas atas lembaga yang melakukan pendataan dalam hal ini adalah pemerintah. Sebagaimana kita ketahui bahwa sumber data awal pemilu 2009 adalah berasal dati Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Data tersebut yang kemudian disusun oleh KPU menjadi data daftar pemilu tetap dengan pemutahiran ala kadarnya. Amburadulnya data kependudukan (demografi) dalam pemerintahan SBY - JK (entah disengaja untuk kepentingan legitimasi politik tertentu), ikut berkontribusi mempermudah manipulasi data dalam pemilu 2009.

Langkah manipulasi yang berkaitan langsung dengan DPT dilakukan melalui tiga cara, (1) Penggelembungan data pemilih, (2) Pengurangan data pemilih (3) Memanipulasi identitas pemilih tanpa atau dengan mengurangi atau menambah jumlah pemilih. Ketiga cara tersebut dapat dilakukan secara bersamaan dan atau sendiri-sendiri, tergantung pada peluang dan kemungkinan keuntungan yang dapat diperoleh oleh pihak yang melakukannya.

Bagi yang melakukan kecurangan, masing-masing cara memiliki manfaat sendiri. Cara (1) dan cara (2) biasanya dilakukan secara beriringan. Penggelembungan data pemilih dapat dilakukan di wilayah-wilayah yang menjadi basis pemilih partai sendiri, sementara pengurangan atau penciutan data dapat dilakukan di wilayah-wilayah menjadi basis lawan. Keuntungan yang diperoleh berlipat ganda, yaitu dari pengurangan suara lawan dan penggelembungan suara sendiri. Dalam pemilu, khususnya pemilu legislatif, kemenangan bersifat relatif terhadap lawan.

Dengan demikian cara pertama (1) dan cara kedua (2) dapat dilakukan sendiri-sendiri, tergantung pada seberapa besar peluang hal ini dapat dilakukan tanpa diketahui oleh lawan-lawan politik. Cara paling tidak beresiko adalah cukup mengurangi jumlah pemilih di kantong-kantong pemilih lawan. Dengan demikian suara lawan akan berkurang dan secara otomatis akan menambah perolehan suara pihak yang melakukan kecurangan secara relatif.

Cara (3), yang dilakukan dengan manipulasi identitas pemilih, adalah cara yang dapat dilakukan melalui lembaga penyelenggara pemilu. Cara ini merupakan strategi pemenangan yang paling mungkin dilakukan oleh pihak yang berkuasa, dengan cara mengontrol penuh lembaga penyelenggara pemilu. Lembaga ini akan diminta melakukan rekayasa pelaksanaan pemilu dan perhitungan suara mulai dari tingkat TPS sampai dengan KPU.

Manipulasi nama pemilih merupakan kejadian yang terjadi secara merata di semua tempat dalam pemilu kali ini. Bayangkan jumlah pemilih bertambah 15,1% dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu 2004 yakni sebanyak 148,0 juta jiwa. Akan tetapi faktanya banyak sekali orang yang namanya tidak tercantum dalam daftar pemili tetap. Lalu pertanyaannya, kemana nama-nama pemilih tersebut?

Didalam DPT, di masing-masing TPS, jumlah pemilih tidak berkurang dan bahkan bertambah. Akan tetapi, dan hampir merata di setiap TPS, banyak pemilih yang tidak tercantum namanya. Hal ini berarti, banyak sekali nama-nama palsu didalam DPT tersebut. Jumlahnya diperkirakan dapat mencapai 20-30 persen di setiap TPS. Banyaknya nama-nama palsu tersebut membuka peluang terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Ada beberapa pola yang paling umum digunakan, yaitu; (1) nama-nama palsu tersebut dicontreng oleh orang lain atau joki; (2) kertas suara atas nama pemilih siluman dicontreng oleh penyelenggara pemilu;

Kecurangan dengan cara pertama umumnya dengan memanfaatkan ketidak-jelian saksi-saksi partai atau pengawas pemilu dalam menghitung; (1) berapa jumlah DPT? (2) berapa jumlah orang yang datang dan menggunakan hak suaranya? (3) berapa suara sah dan tidak sah? (4) berapa hasil ahir perhitungan suara? Jika teliti, maka akan dengan mudah akan ditemukan jejak suara joki dari selisih antara jumlah orang menggunakan hak pilihnya dengan suara yang dihitung baik yang suara sah maupun suara tidak sah. Kecurangan dengan cara kedua umunya memanfaatkan ketidaklengkapan data-data pengawas dan saksi partai mengenai kejadian di TPS (data 1-4) sehingga mereka tidak punya jejak sama sekali terhadap data-data pemilu siluman. Kecurangan semacam inilah diduga yang paling massif terjadi selama pemilu 2009.

Wajar kemudian, banyak pengamat yang menyebut pemilu kali ini adalah pemilu yang paling buruk dalam sejarah 3 kali pemilu di reformasi. Kesemuanya bersumber dari amburadunya DPT, yang oleh banyak ketua partai disebutkan sebagai suatu rekayasa yang sistemantis untuk memberikan keuntungan kepada partai penguasa (incumbent).

Salamuddin Daeng, Researcher - Institute for Global Justice (IGJ)