Kamis, 27 Agustus 2009

PERTANIAN DALAM BELENGGU NEOLIBERALISME

Perdagangan global mungkin akan menjadi dambaan sebagian besar orang seandainya saja bisa memberikan kesempatan kepada semua bangsa untuk makmur, membangun secara adil dan saling menguntungkan. Neoliberalisme dipromosikan sebagai mekanisme untuk mencapainya. Program neoliberal mendapatkan kekuatan sosial melalui kekuatan politik dan ekonomi dari mereka yang diuntungkan: para pemegang saham, para operator keuangan, para industrialis, para politisi konservatif atau sosial-demokratik (yang telah diubah menjadi penjamin dikukuhkannya pasar bebas), pejabat-pejabat keuangan tingkat-tinggi --yang sangat bernafsu mendesakkan kebijakan yang sebenarnya merupakan anjuran untuk membunuh dirinya sendiri karena mereka, tak seperti manajer perusahaan, tak memiliki resiko untuk membayar konsekuensinya di kemudian hari. Neoliberalisme, secara keseluruhan, cenderung dengan lihai-nya memisahkan ekonomi dari realitas sosial. Dengan demikian dalam kenyataannya, sedang membangun sistem ekonomi yang bisa disesuaikan dengan gambaran teori murni---semacam mesin logika yang menampilkan dirinya sebagai belenggu pembatas yang mengatur agen-agen ekonomi. Sistem modern perdagangan bebas, perusahaan bebas dan ekonomi yang berbasiskan-pasar, sebenarnya telah muncul sejak 200 tahun yang lalu, sebagai satu mesin penggerak utama dalam pembangun revolusi industri. Namun akarnya adalah merkantilisme yang terbentuk selama Abad Pertengahan. Dan juga memiliki akar serta pararel dengan berbagai metode yang digunakan imperium sepanjang sejarahnya (dan, saat ini, masih digunakan) untuk menguasai tempat-tempat yang lebih lemah di sekitarnya serta untuk menguras dan merampas kekayaannya. Sebenarnya, bisa saja diyakini bahwa neoliberalisme (sekarang ini) tidak lain adalah merkantilisme yang didandani dengan retorika yang lebih bersahabat, mengingat relitasnya tetap sama dengan proses merkantilis yang telah berlangsung selama ratusan tahun yang lalu. Situasi inipun jelas memiliki dampak-dampak tersendiri di masing-masing sektor kehidupan. Tisak terkecuali di sektor pertanian dan lebih khususnya pertanian di negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Akibat tekanan-tekanan IMF, tugas aparatus kekuasaan (Indonesia) adalah harus rajin memangkas tarif pertanian dan melakukan liberalisasi di bidang pertanian secara menyeluruh (di sektor kebijakan produksi dengan pengurangan/pencabutan subsidi sarana produksi dan perdagangan). Dibawah penekanan IMF dan kekuasaan yang menjadi kompradornya, Indonesia dalam perdagangan hasil-hasil pertanian adalah yang paling liberal di antara negara-negara produsen pertanian di dunia. Sungguh bertolak belakang situasinya dengan negara maju di mana sektor pertanian sangat dilindungi. Eropa misalnya, dengan alasan multifunctionality pertanian, cenderung konsisten dalam menyubsidi sektor pertaniannya. Juga sangat bertolak belakang dengan agenda negara-negeri kapitalis utama yang dengan berbagai cara mempromosikan perdagangan bebas/globalisasi sebagai jalan kesejahteraan masyarakat di dunia. Subsidi oleh negara-negara maju yang demikian besar tentu saja mematikan produk dari petani-petani di negara-negara berkembang dalam arena pasar global. Penurunan tarif secara substansial yang dimotori AS dan Cairns Group ternyata juga mendapat tentangan dari negara-negara maju lainnya seperti Eropa dan Jepang. Negara-negara maju umumnya sangat yakin ketika bicara soal akses pasar lewat reduksi tarif, tetapi banyak melakukan hambatan non-tarif untuk menutup pasarnya. Mereka menentang subsidi untuk petani di negeri-negeri berkembang dan miskin, namun mereka terus memberikan subsidi miliaran dollar bagi industri pertaniannya sehingga negara berkembang seperti Indonesia tidak bisa bersaing. Proteksi pertanian yang dilakukan oleh negara kapitalis utama tidak kepalang tanggung besarnya. Sebagai gambaran, subsidi tahun 2002 untuk AS adalah sebesar 180 miliar dollar AS dalam waktu 10 tahun, subsidi yang diberikan Eropa sebesar 320 miliar dollar AS juga dalam waktu 10 tahun. Angka subsidi yang begitu besar membuat produk pertanian yang dihasilkan petani dari Indonesia sulit bersaing dengan produk mereka yang murah. Produk pertanian negara maju ini terus merajai pasar produk pertanian di negara berkembang karena mereka bisa menjualnya dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan produk pertanian dari petani Indonesia. Pukulan yang dirasakan petani Indonesia akibat membanjirnya produk pertanian dari negara-negara maju itu sudah dirasakan sejak pertengahan 1990-an. Sejak tahun itu, harga komoditas pertanian ekspor sangat menurun dan berdampak negatif terhadap pendapatan petani Indonesia. Situasi inilah yang menjelaskan fakta bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2004 mencapai 36,147 juta orang, dan 21,265 (58,8%) di antaranya bekerja di sektor pertanian. Indonesia kini menjadi importir produk pertanian yang dari tahun ke tahun semakin besar nilainya. Kalau pada tahun 1993 jumlah rumah tangga pertanian adalah 20,8 juta maka pada tahun 2003 jumlahnya telah mencapai 25,6 juta rumah tangga; yang berarti secara rata-rata tumbuh 2,1% setiap tahun. Pada tahun 2003 menunjukkan bahwa rumah tangga pertanian padi/palawija mencapai 74,4% dari seluruh rumah tangga pertanian pengguna lahan. Dengan kata lain, rumah tangga pertanian didominasi oleh rumah tangga padi/palawija. Yang menarik perhatian dan sekaligus memprihatinkan adalah bahwa jumlah petani “gurem”, yaitu rumah tangga pertanian yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha meningkat 2,4% per tahun, dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003. Dengan perkembangan tersebut, secara nasional jumlah rumah tangga petani gurem sudah lebih banyak dari rumah tangga petani non-gurem. Di pulau Jawa gambarannya lebih aneh lagi. Terdapat 9,990 juta keluarga petani gurem (71,53%) dari sebanyak 13,965 juta rumah tangga pertanian. Dengan produksi gabah kering giling sekitar 4,538 ton per ha maka dengan mudah dapat diketahui bahwa kehidupan petani gurem sangat sulit. Dengan beranggapan rata-rata setiap rumah tangga pertanian terdiri dari 4 orang dan konsumsi beras per kapita sekitar 120 kg per tahun. Dapat dihitung bahwa jumlah beras yang dapat dijual oleh petani gurem ke pasar setelah dikurangi kebutuhan konsumsi sendiri relatif kecil. Laju kemiskinan di pedesaan yang berdampak pada membesarnya petani gurem tidak terlepas juga akibat dari berbagai kebijakan pemerintah Indonesia yang berakar disetujuinya perjanjian-perjanjian internasional yang mengusung program liberalisme sektor pertanian khususnya. Misalnya Agreement on Agriculture (AoA), dimana Indonesia menjadi bagian didalamnya. Agenda utama perjanjian internasional ini tidak alain adalah keharusan bagi pemerintah Indonesia untuk mengurangi subsidi dan mengurangi hambatan-hambatan perdagangan pertanian. Di tengah kemunduran serius dari sektor pertanian di Indonesia saat ini, beban sektor pertanian terus bertambah berat karena harus menjadi kantung penampungan tenaga kerja karena kehancuran industri di perkotaan, dan menyumbang konsumsi masyarakat di perkotaan akibat kebijakan pangan murah yang segala kerugiannya lebih banyak dipikul oleh kaum tani ketimbang beban subsidi dari negara. Pembangunan pertanian tidak hanya ditentukan oleh kebijakan di sektor pertanian, tetapi sangat dipengaruhi oleh dukungan sektor lain seperti kebijaksanaan-kebijaksanaan makro, industri dan perdagangan, pengairan, permodalan, dan lainnya. Lebih jauh lagi, dan masalah ini sangat strategis sifatnya sehingga harus menjadi pemahaman seluruh kaum tani di Indonesia bahwa hilangnya daya saing produk pertanian tidak sekedar akibat adanya proteksi pasar di negeri-negeri kaptalis maju, paling banter satu-satunya keunggulan produk pertanian tidak lain adalah murahnya harga tenaga kerja di sektor pertanian. Hilangnya daya saing produk pertanian kita lebih disebabkan karena sektor pertanian di Indonesia belum menjadi industri, masih didominasi sektor pertanian kecil-kecilan. Sebaliknya pertanian di negeri-negeri kapitalis maju tingkat industrinya sudah demikian maju sehingga tingkat produksinya sudah mencapai taraf yang tinggi, yang melampaui kebutuhan nasionalnya, dan memenuhi pasar dunia dengan kelebihan produksi pertaniannya. Tanpa menjadi industri pertanian di Indonesai selamanya produktifitasnya akan kalah bersaing dengan industri pertanian di negeri kapitalis maju. Sayangnya agenda untuk mengindustrialisasikan pertanian tidak mungkin dicapai dengan kebijakan liberalisasi pertanian. Sebaliknya kebijakan ini membutuhkan perlindungan bagi sektor perekonomian dalam negeri sehingga industri manufaktur dapat digalakkan sehingga dapat menyerap banyak lapangan kerja (dipedesaan maupun perkotaan), termasuk produk industri manufaktur untuk kebutuhan sektor pertanian. Sehingga perencanaan produksi, penerapan teknologinya, penyerapan lapangan kerja dapat direncanakan dan dioperasinalkan secara lebih rasional dan modern. Pemerintah SBY-JK sebagai pembuat keputusan dan kebijakan sudah waktunya dengan tegas memberikan perhatian yang serius kepada kondisi pertanian Indonesia yang semakin memburuk ini. Apalagi akibat salah arah kebijakan pertanian selama ini kaum miskin di pedesaan cenderung terus meningkat. Harus ada rumusan kebijakan pertanian yang benar-benar memihak kepentingan kaum tani dan masyarakat pedesaan secara umum. Sudah waktunya kaum tani, dan rakyat Indonesia secara umum menegaskan sikap “Kita Harus Jadi Bangsa Mandiri!!”: tidak tergantung pada modal, teknologi dan barang produksi hasil pertanian dari imperialis pertanian dari negeri kapitalis maju. Tepatnya, perjuangan melawan perdagangan bebas/globalisasi yang menjadi senjatanya kaum imperialis untuk menghisap dan menguras kekayaan rakyat Indonesia harus dijalankan dengan lebih bersatu, lebih berani, dan lebih besar lagi. Oleh karena itu peranan politik kaum tani di segala panggung kekuasaan harus diperjuangkan sebagai agenda yang mendesak bersama-sama dengan kaum buruh dan, kelompok rakyat miskin, dan seluruh kekuatan anti imperialis lainnya.***

Gerakan Mahasiswa

Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa.
Sejarah

1908
Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya.
Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.
Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.
Disamping itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam mendirikan Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU. Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.

1928
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.

1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.

1966
Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, diantaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah partai-partai politik. Misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.
Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961.
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Akbar Tanjung, Cosmas Batubara Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. di masa ini ada salah satu tokoh yang sangat idealis,yang sampai sekarang menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa yang idealis setelah masanya,dia adalah seorang aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini,dia adealah soe hok gie

1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
• Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
• Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan.
Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.

1978
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
Era NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.

1990
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.

1998
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.

Jumat, 21 Agustus 2009

KAMPUS DALAM SEMANGAT SEMU


Pendidikan adalah hak rakyat yang wajib dipenuhi oleh pemerintah bukan kewajiban rakyat untuk membiayai dan bukan hak pemerintah untuk mengambil keuntungan dari pendidikan itu.

Hidup segan mati tak mau begitulah nasib 60% perguruan tinggi di negeri ini, persaingan untuk merebutkan mahasiswa merupkan salah satu dari dari sekian factor pokok yang paling kenntara, perasaan was-was dan cemas selalu menghantui para pengelola pendidikan di Negari ini, apa yang menjadi pokok keresahan ini, UU BHP, undang-undang hasil ratifikasi dari perjanjian GATS (General Agreement On trade Service). Inilah penyebab utamanya. Pelaksanaan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan selambat-lambatnya dalam enam tahun mendatang akan mendorong perguruan-perguruan tinggi swasta aktif melakukan merger satu sama lain. Tujuannya, untuk memperkuat modal dan sumber daya guna bertahan dalam persaingan. Persaingan antarperguruan tinggi pasca implementasi UU BHP bakal lebih ketat. Ini disebabkan diperbolehkannya modal asing untuk masuk, meskipun harus lewat dasar kerjasama dengan perguruan tinggi lokal. Ancaman pailit atau penutupan badan hukum pendidikan senantiasa membayang-bayangi perguruan tinggi yang tidak dapat bertahan. Apalagi, di PTS, soal dukungan pembiayaan dari pemerintah masih belum ditegaskan. Kasus Universitas Wyana Mukti adalah contoh aktualnya. Dan dari sekitar 478 PTS yang ada di Jabar-Banten, 40 persen di antaranya dalam kondisi kurang sehat. Begitu juga kasus beberapa perguruan tinggi di kota yogyakarta sebagai kota pendidikan. Ketentuan soal merger ataupun alih kelola ini selanjutnya akan diatur lebih lanjut di dalam peraturan pemerintah.
Lalu pertanyaannya kenapa saat ini perguruan tinggi kita harus diperdagangkan sementara dalam batang tubuh undang undang dasar kita mengamanatkan segala warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan bahkan lebih tegas lagi alinea ke 4 pembukaan undang-undang dasar 1945 mengamanatkan pendidikan sebagai kewajiban integral negara (melindungi seluruh tumpah darah dan bangsa, mensejahterakan seluruh kehidupan bangsa mencerdaskan kehidupan bangsa dan membantu perdamaian abadi dunia). Hal ini diakibatkan karena Tema sentral UU BHP tersebut adalah komersialisasi pendidikan di Indonesia. Secara lebih rinci coba saya paparkan jadi International Conference on Implementing Knowledge Economy Strategies di Helsinki, Finlandia pada bulan Maret 2003, telah melahirkan apa yang disebut Knowledge Economy. Konsep ini adalah hal baru di sektor pendidikan yang dipakai di negara-negara dunia pertama. Apakah Knowledge Economy? Untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya, maka industri di negara-negara maju membutuhkan kualifikasi buruh yang tidak saja terampil di bidangnya, namun juga mampu menguasai sistem teknologi dan informasi yang dipakai secara luas dalam dunia profesional Konsep Knowlegde Economy kemudian ditindak lanjuti dengan pertemuan WTO (World Trade Organisation) yang menghasilkan kesepakatan bersama antar negara-negara yang tergabung dalam WTO. Kesepakatan itu dirangkum dalam GATS (General Agreement On trade Service) yang menghasilkan keputusan cukup controversial bagi negara-negara dunia ketiga yaitu komersialisasi pendidikan atau pendidikan dimasukkan dalam bidang jasa yang layak untuk diperjualbelikan atau diperdagangkan. Dan parahnya lagi, Indonesia meratifikasi kesepakatan tersebut. Follow up atau tindak lanjut dari ratifikasi kesepakatan tersebut dengan membuat Undang Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan. Yang sasaran utama dari UU BHP ini adalah perguruan tinggi di seluruh indonesia.
Jadi kalau saya boleh menarik kesimpulannya UU ini merupakan hasil ratifikasi pemerintah terhadap General Agreement On trade Service (GATS) WTO tentang jasa pendidikan. Padahal WTO merupakan salah satu organisasi dari negara-negara imperialis dan koorporasi-koorporasinya telah menyeret jutaan rakyat di belahan dunia dalam kemiskinan dan keterbelakangan
Lalu bagaimana pula dengan kondisi mahasiswa di indonesia, setali tiga uang dengan nasib perguruan tinggi di negeri kita mahasiswa pun demikian meskipun krisis yang dialami mahasiswa kita lebih pada idiologi yang telah diporakporandakan oleh globalisasi.
Meskipun Berbicara tentang mahasiswa seharusnya kita tidak akan lepas dari sebuah jargon "Perubahan" yang selama ini selalu sebagai garda depan pendobrak segala bentuk perubahan di negeri ini. Namun pada akhir-akhir ini jargon tersebut sepertinya sudah mulai asing di telinga kita. Sekarang mahasiswa hanyalah "Sekedar bahasa gaul yang tanpa makna" . Kalau kita mau bicara jujur sebenarnya kehidupan mahasiswa sekarang justru mengasingkan mahasiswa dengan apa yang disebut dengan mahasiswa sendiri. Kuliah yang seharusnya membawa mahasiswa menemukan jati dirinya ternyata menyebakkan mahasiswa dalam sebuah kesenjangan Kuliah pun membuat mahasiswa terpasung dalam diafragma kekaburan dan kamuflase maya sehingga mahasiswa tidak dapat melihat realita didepan mata dengan jernih. Kuliah kini hanya mengajarkan mahasiswa dalam sebuah paradigma hidup yang individualistik dan materialistik. Dan akhirnya kampus benar-benar menjadi arena pertarungan manusia-manusia yang hanya memburu selembar ijazah sebagai alat legitimasi sosial. Mahasiswa bukan belajar dari refleksi kenyataan hidup sehar-hari melainkan pola-pola egoistik yang hanya mementingkan diri sendiri sehingga menciptakan jenius-jenius yang tidak mengenal masyarakatnya sendiri. Kita harus jujur bahwa sistem pedidikan kita adalah sistem pedidikan feodal.
Cara berpikir yang apatis, membuat mahasiswa kurang bergairah dalam berorientasi dalam menemukan jatidirinya. Mahasiswa hanya berpikir datang ke kampus, pulang, makan dan tidur.Pokoknya bagaimana cepat lulus meski tidak balance dengan pengetahuan yang diperolehnya. Padahal kesemuanya itu adalah penjajahan secara idiologi dan nurani. Saatnyalah mahasiswa bangkit dan bergerak dari keterpurukan dan mencoba 'melek' terhadap fenomena sosial di sekitarnya, marilah kita kembali merenungkan dan merekonstruksikan, sebenarnya makna apa yang tersirat dan tersurut dari status kita sebagai mahasiswa. Haruskah kita diam ditempat dengan bahasa gaul yang kini sudah tak bermakna ini atau kita mencoba menggurat lembaran sejarah baru serta mencoba menorehkan sehingga kita dapat menemukan arti sejati dari makna mahasiswa.Kenapa harus muncul menara gading. Kuliah yang seharusnya dapat membawa mahasiswa menemukan jati dirinya ternyata menjebakkan mahasiwa dalam sebuah kesenjangan antara tradisi sendiri dengan dunia medernitas. Kuliah pun membuat mahasiswa terpenjara dalam benteng-benteng yang kokoh sehingga mahasiswa tidak dapat melihat realitas dengan jelas. Mahasiswa belajar dari atas,tapi bukan dari refleksi kenyataan hidup sehar-hari Memang lahir orang-orang pintar tapi orang pintar yang tidak mengenal masyarakatnya sendiri. Diakui bahwa sistem pedidikan kita adalah sistem pedidikan yang elite yaitu pola pendidikan kolonial Belanda yang ditujukan untuk mengisi jabatan dalam birokrasi pemerintahan. Usaha dalam proses penyadaran semestinya dilakukan sejak awal dari mahasiswa bahwa bagaimanapun posisi mahasiswa pada suatu saat pasti akan muncul kelompok elite yang akan memperkokoh struktur kekuasaan yang baru. Gerakan intelektual ini harus dijaga kelangsungannya mulai dari pra sarjana sampai pasca sarjana. Dasar utama gerakan intelektual adalah,mengenal masyarakat ,mengikuti perkembangan bangsa dan melakukan komunikasi intelektual dengan sesama serta menyalurkan aspirasi rakyat melalui media yang ada. Jika ini terlaksana maka akan mempertinggi mutu kemahasiswaan dalam keberadaanya secara keseluruan.
Ayo perguruan tinggiku bangkit, mahasiswa temukan jati diri, kembalikan pendidikan untuk rakyat, bukankah tujuan pendidikan selain mencerdaskan kehidupan bangsa adalah membangun peserta didik menjadi manusia sosial yang berjiwa merdeka, berjiwa kerakyatan, berjiwa kebangsaan, demokratis dan berjiwa kekeluargaan menurut kihadjar dewantara. Jadi selamatkan kampus dan mahasiswa kita, lebih luasnya anak bangsa ini. Jangan biarkan kampus dalam semangat semu. CABUT UU BHP.

Rabu, 19 Agustus 2009

Ngantor Pertama, Dewan Didemo

19 Agustus 2009
BALAIKOTA- Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Semarang Independen (Somasi) yang terdiri dari unsur KAMMI, LMND, HMI, BEM KM Undip, BEM KM Unnes, melakukan aksi di depan Gedung DPRD Kota Semarang, Selasa (18/8). Mereka menuntut, anggota Dewan Periode 2009-2014 berkinerja lebih baik dibandingkan periode sebelumnya.Agi Suprayogi, koordinator aksi mengatakan, setelah mengucapkan sumpah pada pelantikan lalu, para anggota Dewan telah berkomitmen untuk melayani rakyat dengan bekerja lebih produktif dan lebih baik. Di sisi lain, ada pertambahan kuantitas anggota Dewan dari 45 orang menjadi 50 orang. ’’Hal itu mestinya diikuti dengan peningkatan kinerja DPRD untuk periode 2009-2014,’’ kata Agi.Dikatakannya, publik mencatat banyak hal dari kinerja dewan sebelumnya, seperti kasus dugaan korupsi Dewan yang kini menjabat kembali, pengawasan kebijakan publik yang lemah dan berakibat pada buruknya pelayanan publik, penanganan banjir dan rob yang tak kunjung usai dan pengelolaan anggaran daerah yang masih lemah.Kontrak SosialSomasi menuntut, agar anggota Dewan yang baru menandatangani kontrak sosial yang berisi, komitmen untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi dan melakukan optimalisasi fungsi budgetting yang memprioritaskan APBD untuk kepentingan rakyat. Dalam kontrak sosial itu, mereka juga meminta agar para wakil rakyat mengoptimalkan fungsi legislatif melalui penyusunan peraturan daerah yang berpihak kepada rakyat, serta melakukan pengawasan kebijakan pemerintah secara objektif dan serius dengan mengutamakan kepentingan rakyat.Sambil menyerukan yel-yel, para mahasiswa meminta anggota Dewan menemui mereka. Kemudian sejumlah anggota legislatif dari berbagai partai keluar menemui para pendemo dan kemudian menandatangani kontrak sosial. Mereka adalah Gunadi Susetyo (Gerindra), Suryanto (PKB), Supriyadi (PDIP), Johan Rifai (PKS), Imam Mardjuki (PKS), Agung Purno Sarjono (PAN), dan Kholison (PKB).Kepada wartawan, Agung PS mengatakan, pihaknya mendukung langkah Somasi untuk bersama-sama memberantas korupsi dan mengoptimalkan potensi yang ada untuk kepentingan masyarakat. Termasuk di dalamnya, menerima masukan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi anggota Dewan. (K3,H54-87)

Jangan Salah Memaknai Aksi Masa

Pada kesempatan yang berbahagia ini, pertama saya mengucapkan syukur alhamdulillah karena tulisan saya masih bisa terbaca oleh kawan-kawan. Pada kesempatan ini pula saya hanya ingin sedikit menjelaskan tentang makna aksi masa menurut saya dan menurut beberapa ahli tentang aksi masa. di dalam negara yang berwatak demokrasi sering di jumpai aksi masa dalam kondisi-kondisi dmana terjadi sebuah perbedaan pandangan atau sebuah masalahj antara penguasa dan rakyatnya. intinya aksi masa ini bertujuan untuk sebuah perubahan dimana pihak penguasa di tekan oleh rakyat untuk melakukan perubahan (revolusi). Dalam buku "Aksi Masa" tulisan Tan Malaka, revolusi indonesia akan muncul apabila ;
  1. Kekayaan dan kekuasaan sudah tertumpuk ke dalam genggaman beberapa orang kapitalis.
  2. Rakyat Indonesia semuanya makin lama semakin miskin, melarat, tertindas dan terkungkung.
  3. Pertentangan kelas dan kebangsaan makin lama semakin tajam.
  4. Pemerintah Belanda makin lama semakin reaksioner. (sudah ga relevan)
  5. Bangsa Indonesia dari hari ke hari semakin bertambah kerevolusionerannya dan tak "mengenal damai".

dijelaskan disana bahwa keadaan akan melahirkan sebuah perubahan, namun waktunya kapan kita juga tidak tahu. yang jelas bukan pada takdir, tetapi Tuhan pun telah menyuruh kita untuk berusaha semaksimal mungkin sebelum menyerahkan diri kepadanya. bahwa jelas Tuhan pun meminta kita untuk tidak henti-hentinya berusaha.

Kembali kepada topik aksi masa kawan, pada saat saya menulis tulisan ini, besok saya akan mengisi materi untuk mahasiswa baru tentan manajemen aksi,... pertanyaan saya kenapa harus saya yang mengisi,...? mungkin orang lain melihat saya lebih tahu tentang aksi masa karena di lingkungan kampus saya salah satu orang yang sering melakukan aksi masa. dari aspek hukum aksi masa di jelaskan pula dalam UU no 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dalam psl. 1 yang berbunyi ;
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang.
3. Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.

kemudian dalam pasal yang lain bisa di baca sendiri ya kawan ;

hakekatnya kita jangan takut melakukan p[rotes apabila itu demi perubahan yang lebih baik...

LAWAN & Hancurkan Rezim yang menindas RAKYAT...!!!

Sejarah berdirinya LMND

Perjuangan demokrasi adalah sebuah proses sosial yang penting untuk masyarakat Indonesia. Jatuhnya Soeharto di Mei 1998 jelas adalah salah satu batu loncatannya. Seperti yang kita ketahui, gerakan mahasiswa menjadi salah satu tulang punggung perjuangan melawan kediktatoran Orde Baru. Sepanjang 1998-1999 sangat terlihat begitu banyak aksi-aksi mahasiswa, dengan ribuan sampai jutaan massa rakyat mencoba menghantam satu per satu pilar kekuasaan Orde Baru.Tapi, demokrasi yang mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial yang sejati belum terwujud.
Gerakan Mahasiswa Kerakyatan memang tak luput dari kelemahan. Salah satunya adalah persoalan perjuangan yang terus berkelanjutan. Organisasi, mau tidak mau, menjadi masalah yang penting. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperkuat diri gerakan ini. Mulai dari Rembuk Mahasiswa Nasional Indonesia atau RMNI I di Bali pada Maret 1999, RMNI II di Surabaya pada Mei 1999, ataupun front-front perjuangan mahasiswa secara nasional yang berdiri dan bubar sepanjang 1998-2001.
Sejak jatuhnya Soeharto, beberapa komite aksi menyadari kebutuhan sebuah organisasi perjuangan yang bergerak secara nasional, menyatukan perlawanan mahasiswa bersama rakyat dengan sistematis dan terprogram. Dimulai dengan pendirian Front Nasional untuk Reformasi Total (FNRT) pada pertengahan Mei 1998, 11 komite aksi dari 10 kota (termasuk Mahasiswa Timor Leste) mencoba mengatasi persoalan gerakan secara nasional.
Usia FNRT tidak lama. Pada pertengahan 1998, FNRT bubar dengan sendirinya. Tapi komite-komite yang pernah bergabung di dalamnya mencoba membentuk lagi sebuah organisasi nasional, Aliansi Demokratik (ALDEM) pada Agustus 1998. Mereka berhasil menerbitkan sebuah majalah “ALDEM” satu kali dan upaya menggalang aksi nasional pada tanggal 14 September dengan isu Cabut Dwifungsi ABRI. Malang, nasibnya tak jauh dengan FNRT. Putus koordinasi menjelang Sidang Istimewa 1998.
Upaya berikutnya adalah pembentukan Front Nasional untuk Demokrasi (FONDASI) pada pertengahan Februari 1999. Buntunya RMNI II di Surabaya dalam persoalan Pemilu Juni 1999 memaksa FONDASI untuk memunculkan dirinya dan mengadakan Kongres Mahasiswa di Bogor, 9-12 Juli 1999. Dari 20 komite aksi mahasiswa-rakyat, 19 di antaranya sepakat untuk membentuk sebuah organisasi nasional demi terwujudnya kesatuan perjuangan gerakan secara nasional. Organisasi tersebut bernama Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, disingkat LMND (bisa dibaca “elemende”).
Kongres I tersebut menyatakan bahwa perjuangan LMND adalah sebagai bagian dari perjuangan rakyat Indonesia menghancurkan sistem yang anti demokrasi dan mewujudkan masyarakat demokratis dan berkeadilan sosial. Tujuan ini juga dinyatakan dalam ideologi organisasi yang disebut Demokrasi Kerakyatan, demokrasi yang secara ide dan kenyataan berpihak kepada mayoritas rakyat, yaitu kaum buruh, tani, dan miskin kota.
Saat ini LMND memiliki 40 basis kerja, baik dalam bentuk komisariat, komisariat persiapan, dan kampung pengorganisasian dengan kekuatan 300an organiser, tersebar 20 kota Indonesia untuk menggalang kekuatan mahasiswa dan rakyat untuk memperjuangkan kepentingan mereka, yang jelas berbeda dengan penguasa Indonesia.
Kongres II di Bandung, Oktober 2000, telah mengamanatkan penggalangan kekuatan-kekuatan mahasiswa untuk bersama-sama membangun dewan-dewan mahasiswa sebagai alat perjuangan kepentingan mahasiswa di dalam kampus, melawan upaya-upaya komersialisasi pendidikan, dan melawan sisa-sisa Orde Baru yang anti Demokrasi.
Kongres III Malang
Kongres IV Bogor

Organisasi Kampus itu Berbeda dengan Organisasi di SMA

Selamat datang mahasiswa baru, salam hangat untuk kalian semuanya,...
Selamat datang di kampus, tempat dimana kawan-kawan mahasiswa menuntut ilmu sesuai bidang keilmuan masing-masing. Di tempat ini pula kawan-kawan mahasiswa akan mendapatkan berbagai macam hal yang jarang di dapatkan di dunia SMA. Sekarang kawan-kawan mahasiswa baru sudah masuk dalam dunia baru. Tentunya juga dengan wajah baru, dimana kawan-kawan dapat bebas berekspresi dan beraktivitas sesuai dengan minat dan bakat kawan-kawan. Kenapa aku panggil kawan-kawan karena memang harapannya kita bisa menjadi kawan, karena pada dasarnya mencari kawan adalah hal yang juga sulit dilakukan di masa-masa sekarang ini, masa di mana kehidupan sudah masuk dalam liberalisme (paham kebebasan) bahkan saat ini kita sudah bicara tentang Neoliberalisme (penjajahan gaya baru). Kawan-kawanku mahasiswa baru dalam menjalani aktivitas dunia kampus juga tidak jauh beda dengan di SMA. Di kampus juga ada banyak aktivitas yang bisa di kerjakan, seperti berorganisasi. Karena wadah organisasi di kampus sangatlah banyak tentunya saya sendiri bisa menjamin kawan-kawan akan bingung untuk menentukan pilihan. Yang jelas organisasi di dunia kampus tidak bisa di samakan dengan di SMA, karena di kampus kawan-kawan akan benar-benar mandiri mengurus organisasi . Berbeda dengan di SMA, masih ada guru pendamping yang senantiasa ikut andil dalam kegiatan-kegiatan organisasi. Dalam dunia kampus Organisasi di bagi menjadi dua yaitu organisasi intra kampus dan organisasi ekstra kampus ; organisasi intra kampus seperti BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa, dan UKM prinsipnya sama dengan OSIS dan ekskul di SMA. Namun saya tidak akan mengulas tentang lembaga intra, yang akan saya bahas adalah mengenai keberadaan lembaga ekstra kampus di lingkungan belajar kita yakni di tingkat universitas. Lembaga-lembaga ekstra yang terdapat di universitas lebih banyak di banding lembaga intra. Bahkan kawan-kawan bisa betul-betul melakukan adventure sesuai dengan keinginan kawan-kawan. Sebagai salah satu mahasiswa yang bergelut di lembaga ekstra, saya benar-benar mendapatkan hal yang lain, bahkan itu belum pernah saya dapatkan saat saya berada di bangku SMA. Di tempat kuliah ini saya bertemu kawan-kawan Ektra yang ternyata kegiatannya benar-benar ekstra; ekstra asik, ekstra santai namun semuanya itu sangat bermanfaat untuk bekal nanti mengarungi kehidupan di kala kita sudah selesai menempuh study kita di universitas. Saya ikut lembaga ekstra yang bernama LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi) dari namanya saja sudah Demokrasi tentunya orang-orang di dalamnya juga demokratis dalam mengambil keputusan. Kegiatan-kegiatannya pun sangat menantang dan membutuhkan waktu yang tidak banyak menyita aktivitas kita sebagai mahasiswa. Kegiatan di fokuskan untuk diskusi, memdalami dan mengkaji sebuah permasalahan masyarakat, terutama permasalahan rakyat miskin. Kemudian ada kegiatan advokasi kebijakan public yang tidak pro rakyat, dalam bentuk yang beraneka ragam seperti aksi demonstrasi di jalan, kemudian membuat penggung-panggung politik, orasi di kampus. Saat ini LMND sendiri sedang menyuarakan perlawanan terhadap NEOLIBERALISME, apakah itu ? kalo kawan-kawan ingin lebih jelas tentunya kawan-kawan harus diskusi bareng kita. Tanpa usaha keinginan kita tidak akan tercapai....sekali lagi selamat kepada kawan-kawan mahasiswa baru,... welcome to the new world!!!